REFLEKSI UNTUK KITA SEMUA

 



Tahun 2025 dibuka dengan berbagai isu hangat yang menimpa pemerintahan prabowo gibran. 100 hari pertama kepemimpinan keduanya sudah di dera oleh berbagai isu kontroversial, padahal masih ada delapan belas kali 100 hari lagi masa kepemimpinan mereka di negara ini. Itu artinya potensi-potensi masalah kedepannya dapat kita bayangkan bagaimana mengerikannya.  Aksi masa berdatangan di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Mahasiswa, masyarakat sipil, hingga para pelajar turun memadati jalan di seluruh penjuru negri, dengan isu utama penolakan terhadap inpres no. 1 tahun 2025 yang memuat efisiensi atas anggaran belanja Negara.

            Tak terkecuali di kota kendari, para mahasiswa turun kejalan dengan narasi yang sama dan dengan semangat yang membara. Tapi melihat kondisi sekarang, dimana kita berada di era post truth dimana antara sensasi dan fakta sudah tidak dapat di bedakan lagi. Sensasi jauh lebih di utamakan daripada fakta yang ada. Hal tersebut mengkhawatirkan jika itu ada di tengah tengah kita sebagai mahasiswa kota kendari. Istilah FOMO (fear of missing out) yang mengutamakan sensasi daripada substansi perjuangan jangan sampai melekat pada motif kita untuk turun ke jalan. Karena jika iya maka Indonesia emas 2045 adalah sebuah khayalan bagi kita apalagi sulawesi tenggara sebagai pusat energi dunia.

            “Indonesia gelap” adalah terminologi pesimis yang dinarasikan oleh mahasiswa di awal tahun 2025. Dengan adanya istilah ini, maka potensi untuk kita bisa menggapai Indonesia emas sedikit mustahil apalagi model kepemimpinan masih dengan model yang sama seperti kepemimpinan yang sudah berlalu. Terlebih lagi kondisi pemuda Indonesia yang tidak inovatif dan produktif yang hanya bermodal NATO (not action talk only) membuat bonus demografi menjadi sebuah tantangan bukan sebagai peluang. Memang kartini mengungkapkan bahwa habis gelap terbitlah terang tetapi bagaimana jika terang tersebut hanyalah khayalan uthopis kita akibat ulah kita sendiri yang tidak mau keluar dari kegelapan tersebut. Mahasiswa harus mampu melihat dalam kegelapan itu bagaimanapun caranya entah menggunakan insting atau membuat cahaya dalam kegelapan itu.

            Refleksi untuk kita semua sebagai seorang yang memiliki gelar “maha”(siswa) harusnya kita bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik bukan hanya omon-omon. Dan perubahan itu dimulai dari niat yang baik lalu dieksekusi dengan idealisme yang kuat. Dua fondasi inilah yang membuat perjuangan menjadi nyata, sebaliknya jika kedua fondasi itu dikorbankan demi ego pribadi atau karena tujuan popularitas atau hal lainnya maka hilanglah substansi perjuangan itu. Bahkan jika kamu menyerukan perjuangan 1000 kali maka keseribukalinya itu adalah bualan. Dan salah salah satu pendorong semua itu adalah ketua-ketua lembaga. Memang semua mahasiswa berhak dan wajib untuk menciptakan perubahan tetapi sentral komunikasi adalah ketua-ketua lembaga dan tanpa komunikasi yang baik maka konsolidasi akan sulit. Oleh karena itu ketua-ketua lembaga kemahasiswaan dituntut untuk aktif dalam peran-peran perjuangan.

Komentar