Revisi Pemilihan MPM

Perubahan Prinsip Pemilihan Anggota MPM di UHO

Opini La Ode Kadafi

 



Urgensi Lembaga Kemahasiswaan

Organisasi kemahasiswaan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter, kompetensi, dan wawasan mahasiswa di luar ruang kelas. Kehidupan kampus tidak hanya berorientasi pada pencapaian akademik semata, tetapi juga pada pengembangan diri secara menyeluruh sebagai calon pemimpin bangsa. Melalui organisasi, mahasiswa dilatih untuk berfikir kritis, bekerja sama, memimpin, serta bertanggung jawab terhadap tugas dan lingkungannya.

Keberadaan organisasi kemahasiswaan dapat di pandang sebagai wadah pembelajaran nonformal yang melengkapi proses pendidikan formal. Di dalam organisasi, mahasiswa belajar mengatur waktu, berkomunikasi efektif, menyelesaikan masalah, dan mengelola konflik. Hal ini menjadi bekal penting bagi mahasiswa ketika terjun ke dunia kerja maupun kehidupan sosial. Selain itu, organisasi juga menjadi sarana aktualisasi diri, di mana mahasiswa dapat menyalurkan minat, bakat, dan ide-ide kreatifnya untuk memberikan kontribusi nyata kepada kampus dan masyarakat. Lebih jauh, organisasi kemahasiswaan berperan dalam menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan solidaritas.

Dalam dinamika organisasi, mahasiswa belajar mengambil keputusan secara kolektif, menghargai perbedaan pendapat, dan mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Nilai-nilai demokrasi, tanggung jawab sosial, dan etika kepemimpinan yang tertanam melalui aktivitas organisasi menjadi pondasi moral dalam membangun karakter bangsa yang kuat. Selain aspek pengembangan individu, organisasi kemahasiswaan juga memiliki fungsi strategis sebagai jembatan antara mahasiswa dengan pihak kampus maupun masyarakat luas. Organisasi menjadi ruang advokasi bagi mahasiswa dalam menyuarakan aspirasi dan mengawal kebijakan kampus agar berpihak pada kepentingan bersama. Di sisi lain, organisasi juga berperan sebagai agen perubahan sosial (agent of change) yang mampu berkontribusi melalui kegiatan pengabdian, penelitian, dan aksi sosial di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, urgensi organisasi dalam kemahasiswaan tidak dapat diabaikan. Organisasi bukan sekadar tempat berkumpul atau kegiatan tambahan, melainkan bagian integral dari proses pendidikan tinggi yang bertujuan membentuk mahasiswa menjadi insan yang cerdas, berintegritas, dan berdaya guna. Oleh karena itu, setiap mahasiswa sebaiknya mengambil peran aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai wujud pengembangan diri dan tanggung jawab sosial terhadap bangsa dan negara.

Posisi MPM Sebagai Lembaga Kemahasiswaan

Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) merupakan lembaga tertinggi dalam sistem pemerintahan mahasiswa yang berfungsi sebagai representasi seluruh mahasiswa di perguruan tinggi. Anggota MPM biasanya merupakan perwakilan dari setiap fakultas, jurusan, atau lembaga kemahasiswaan di lingkungan kampus. MPM menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi, melakukan musyawarah, serta menentukan arah dan kebijakan umum organisasi kemahasiswaan. MPM adalah salah satu lembaga tinggi dalam struktur organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi yang memiliki fungsi utama sebagai lembaga legislatif dan konstitusional di tingkat kampus. Secara umum, MPM dapat diibaratkan seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tingkat nasional, karena memiliki kewenangan dalam hal pembuatan, pengesahan, dan pengawasan terhadap konstitusi kemahasiswaan serta kinerja lembaga eksekutif mahasiswa. Untuk status MPM di UHO sendiri dapat di baca pada surat keputusan (SK) Rektor 853a yang memuat seluruh aturan terkait lembaga kemahasiswaan lingkup UHO.

Ø  Kedudukan dan Fungsi

Majelis Permusyawaratan Mahasiswa berkedudukan di tingkat universitas dan merupakan kelengkapan non struktural dari Universitas.

Majelis Permusyawaratan Mahasiswa berfungsi sebagai lembaga aspiratif bagi mahasiswa.

Ø  Tugas dan Wewenang

MPM mempunyai tugas:

1. Menyusun dan menetapkan Garis-Garis Besar Program Kerja (GBPK) dan Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) BEM Universitas;

2. Menyerap aspirasi mahasiswa dan menyalurkan kepada BEM Universitas;

3. Menyelenggarakan rapat pleno pertanggungjawaban BEM setiap 6 (enam) bulan dan Laporan Pertanggungjawaban Akhir Kepengurusan.

MPM berwenang:

1. Menyelenggarakan pengawasan terhadap Badan Eksekutif Mahasiswa dalam melaksanakan tugas dan wewenang;

2. Memberikan peringatan, baik secara lisan maupun secara tertulis kepada Badan Eksekutif Mahasiswa apabila melanggar tugas dan wewenang;

3. Apabila peringatan secara tertulis diabaikan oleh BEM, maka MPM berhak mengusulkan pemberhentian BEM kepada Rektor atas rekomendasi MSOK

Ø  Keanggotaan dan Kepengurusan

1. Keanggotaan MPM dipilih melalui Pemilu Raya Mahasiswa.

2. Keanggotaan MPM berjumlah 3 (tiga)orang untuk setiap Fakultas dan Program Pendidikan Vokasi.

3. Kepemimpinan MPM Universitas Halu Oleo bersifat kolektif yang terdiri; a. Ketua Majelis merangkap anggota; b. Wakil Ketua terdiri dari 4 (empat) orang merangkap anggota.

4. Ketua Majelis dan para Wakil Ketua dipilih melalui Rapat Paripurna MPM oleh dan dari anggota MPM.

5. Ketua dan Wakil Ketua MPM menyusun kepengurusan MPM- Universitas Halu Oleo.

Alasan Perubahan Model Pemilihan Anggota

Dalam perjalanannya lembaga kemahasiswaan Universitas Halu Oleo (UHO) banyak melahirkan kader-kader yang menjadi stok pemimpin bangsa di tingkat lokal maupun nasional khususnya di jazirah sulawesi tenggara. Dalam fungsinya sebagai iron stock sudah sepatutnya dan selayaknya mahasiswa Universitas Halu Oleo mengambil peran tersebut. Karena dibalik perkara tersebut yang merupakan suatu hak juga di waktu yang bersamaan adalah kewajiban dalam kacamata agama. Maka dalam mengasah kemampuan kepemimpinan tersebut lembaga-lembaga di tingkat Universitas Halu Oleo memberi ruang yang sebesar-besarnya kepada mahasiswa untuk bersaing secara demokratis.

Dalam praktiknya lembaga kemahasiswaan UHO melaksanakan asas Demokrasi dimana Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di awasi oleh lembaga Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). Sehingga dalam kelembagaan kampus MPM memiliki status yang sangat penting dan sangat vital dalam menjaga proses keberlangsungan asas demokrasi tersebut. Karena sebagai representase dari seluruh mahasiswa, maka MPM yang keanggotaanya dipilih langsung oleh mahasiswa harus betul-betul mampu menampung aspirasi dan mampu berdampak dalam proses demokratis tersebut. Dalam penjaringan anggota MPM, terdapat satu fraksi dalam setiap fakultasnya yang berjumlah maksimal tiga anggota. Dimana tujuan dalam sistem penjaringan tersebut adalah untuk memastikan bahwa di setiap fakultas memiliki perwakilan yang mampu merepresentasikan semua suara mahasiswa di fakultas tersebut. Namun merupakan suatu hal yang janggal jika hal tersebut berlaku di UHO, karena 3 perwakilan MPM FKIP yang jumlah mahasiswanya hampir delapan ribuan memiliki  jumlah perwakilan yang sama dengan peternakan yang jumlah mahasiswanya tidak cukup seribu. Tentu hal tersebut mempengaruhi efektifitas penjaringan aspirasi. Maka berangkat dari hal tersebut penulis berinisiatif untuk menguraikan perlu adanya perubahan dalam pemilihan anggota MPM Universitas Halu Oleo.

Sistem lama, dengan alokasi tiga kursi per fakultas, memang memiliki keunggulan dalam hal kesetaraan antar-fakultas. Setiap fakultas memiliki suara yang sama besar di MPM, tanpa memandang perbedaan jumlah mahasiswa. Namun, sistem ini tidak efektif karena tidak proporsional. Fakultas dengan ribuan mahasiswa memiliki kekuatan representasi yang sama dengan fakultas kecil yang hanya memiliki ratusan mahasiswa. Akibatnya, aspirasi mahasiswa dari fakultas besar sering kali tidak terwakili secara seimbang. Berdasarkan SK Rektor 853a Pasal 2 huruf F dimana proporsionalitas merupakan bagian dari asas organisasi kemahasiswaan di lingkup UHO. Proporsionalitas disini dapat kita maknai sebagai bentuk mendasar dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh mahasiswa.

Sementara itu, jika kita menggunakan sistem baru yang mengacu pada jumlah DPT memiliki semangat representasi yang lebih adil secara numerik. Fakultas dengan jumlah mahasiswa lebih besar akan memiliki lebih banyak kursi di MPM, sehingga suara mereka dalam pengambilan keputusan lebih sebanding dengan kontribusi jumlah pemilih. Dalam konteks demokrasi, ini sejalan dengan asas “one person, one vote, one value”, yang menegaskan kesetaraan nilai suara setiap individu.

Kemudian jika kita melihat realitas pemilihan beberapa tahun kebelakang ini di beberapa fakultas yang seharusnya memiliki 3 kursi anggota  justru tidak terisi. Misalnya saja pada pemira 2023 kemarin dimana Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) hanya memunculkan dua figur sehingga terjadi kekosongan kursi dalam fraksinya. Di tahun yang sama kandidat yang dimunculkan di fraksi FHIL,FPIK,FF, dan FT hanya 3 anggota sehingga tidak ada proses seleksi yang demokratis dan berkualitas di baliknya. Yang lebih ironis lagi, demi mengisi kekosongan kursi ini, bisa saja terjadi suatu kondisi dimana mahasiswa terpaksa menjadi kandidat dalam kontestasi politik kampus ini hanya untuk melengkapi kursi yang kosong demi ambisi politik. Dengan tanpa pengetahuan, pengalaman dan keinginan yang kuat pada kandidat tersebut. Tentu hal tersebut akan menimbulkan implikasi yang buruk untuk kepengurusan lembaga kemahasiswaan. Disisi lain ada beberapa fraksi yang jumlah kandidatnya 7 hingga 8 orang. Yang mungkin diantara yang gugur itu lebih berkeinginan dan lebih berpengalaman terkait organisasi di banding kandidat yang masuk dalam kepengurusan lembaga tanpa seleksi.

Perubahan prinsip pemilihan MPM ini dapat dipandang sebagai evolusi demokrasi mahasiswa dari sistem perwakilan statis menuju sistem yang lebih adaptif terhadap realitas kampus. Meski perubahan ini juga tidak lepas dari potensi persoalan dimana fakultas kecil mungkin akan merasa kehilangan posisi tawar, karena secara matematis mereka akan memiliki jumlah perwakilan yang lebih sedikit. Yang tentunya hal tersebut juga dapat mempengaruhi konstelasi politik. Namun terlepas dari aspek politik tersebut, jika kita melihat berdasarkan kemanfaatan tentu sistem berdasarkan asas proporsionalitas akan lebih membawa manfaat nyata bagi mahasiswa.

Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) merupakan lembaga tertinggi dalam struktur organisasi mahasiswa yang berfungsi sebagai lembaga legislatif dan konstitusional di kampus. Keberadaannya menjadi penopang sistem demokrasi mahasiswa, tempat menyalurkan aspirasi, membuat kebijakan, dan mengawasi jalannya pemerintahan mahasiswa. Dengan demikian, MPM memiliki peran strategis dalam membentuk iklim organisasi yang sehat, demokratis, dan berorientasi pada pengembangan karakter mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa. Karena itu, yang paling penting dalam proses berlembaga adalah menciptakan kehidupan kemahasiswaan yang demokratis, aspiratif, dan berkeadilan. Melalui lembaga ini, mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara politik, sosial, dan moral. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu adanya perubahan prinsip pada pemilihan anggota MPM agar lebih partisipatif. Sehingga dalam perubahan prinsip pemilihan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dari sistem perwakilan tetap yakni tiga orang per fakultas menjadi sistem proporsional berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) merupakan langkah kongkrit yang sarat dengan dinamika demokratisasi dan partisipasi mahasiswa. Perubahan prinsip ini perlu dilihat tidak sekadar sebagai perubahan teknis pemilihan, tetapi sebagai refleksi atas semangat representasi dan keadilan dalam tubuh lembaga mahasiswa.

 


Komentar