Pemimpin Harus Minoritas




    Pemimpin secara etimologi berasal dari kata dasar pimpin yang merupakan suatu kemampuan dalam mempengaruhi orang lain. karena berimpuhan pe(m) maka kata tersebut akan berubah makna menjadi kata ganti orang sehingga pemimpin artinya orang yang dianggap mampu mempengaruhi orang lain dan akan berubah makna jika imbuhan (an) berada di ujung katanya sehingga Pimpinan artinya orang yang sedang memegang kekuasaan tertinggi namun sifatnya sementara dan penunjukannya secara spontan, sedangkan jika di tambahkan imbuhan ke(pem)-an maka akan berubah menjadi kata sifat (kepemimpinan) yang artinya gaya atau cara seseorang dalam mempengaruhi orang lain. 
    Di dalam suatu kelompok, pemimpin sangat di perlukan karena dengan adanya pemimpin maka di dalam kelompok tersebut akan lebih mudah untuk dikoordinir berdasarkan tupoksi masing-masing sehingga apa yang di cita-citakan di dalam kelompok tersebut bisa lebih mudah untuk mencapainya. Teman-teman bisa membayangkan bagaimana jika di dalam suatu kelompok tertentu tidak memiliki sosok pemimpin maka akan teriptanya masyarakat yang individualis. Kita bisa berkaca pada Nabi Muhammad SAW yang memipin islam dan seluruh umat manusia sehingga islam eksis sampai hari ini dan merupakan salah satu agama terbesar di dunia. Bayangkan jika nabi Muhammad SAW tidak memiliki jiwa kepemimpinan dan bayangkan jika bangsa arab yang masyarakatnya dalam keadaan jahiliyah tidak memiliki sosok nabi muhammad maka dapat dipastikan tidak ada sejarah keemasan bangsa-bangsa arab seperti masa Khulafaur rasyidin,Dinasti ummayah, Abasyiah, Fatimiyah, hingga masa utsmanyah.
    Oleh karena posisinya sebagai penggerak dan penentu arah di dalam suatu perkumpulan maka orang berlomba-lomba dalam memperebutkan posisi mulia tersebut. Idealnya seorang pemimpin harus mampu membawa dan mengarahkan seluruh anggotanya untuk sampai pada suatu tujuan tertentu. namun dalam praktisnya tidak sesederhana itu. Karena saking vitalnya posisi seorang pemimpin dan tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam tubuh manusia terdapat sisi kebinatangan di dalam teori thomas hobbes yang mengatakan homo hominilipus sehingga bagi sebagian orang menganggap dengan menjadi pemimpin maka akan bebas melakukan apa yang di inginkannya (berkuasa). Dengan kekuasaan tersebut maka ia telah berada di zona nyaman dalam mempertahankan hidupnya. Sehingga terkadang orang lupa bahwa seorang pemimpin seharusnya mengelola bukan berkuasa. Paradigma tersebut seolah dilestarikan oleh pemimpin-pemimpin sekarang ini. Meski seperti itu masih ada saja pemimpin-pemimpin yang masih memiliki leadership dan kesadaran akan tanggung jawabnya.
      Pada tulisan ini yang dimaksud pemimpin bukanlah untuk seluruh pemimpin di dunia melainkan hanya berfokus pada negara kita Indonesia yang kental akan pluralismenya. motivasi saya menulis ini yaitu setelah membaca buku Api Sejarah karya Mansur Suryanegara tentang masa kejayaan islam. Dan salah satu kutipannya yaitu bahwa pemimpin lebih baik oleh minorotas. Dari kutipan itulah saya berniat untuk menulisnya agar bisa di jadikan rujukan sebagai bahan pertimbangan ketika memandang pemimpin dari persepektif sosial budaya.
       Ketika teman-teman melihat judul tulisan ini,sekilas teman-teman akan berpikir aneh dan di luar teori-teori politik yang sudah ada. Namun pernakah teman-teman mencoba untuk memikirkan bagaimana jika pemipin berasal dari minoritas. Seperti yang kita ketahi bersama bahwa di tunjuknya seorang pemimpin untuk membuat peraturan (policy) yang tujuannya untuk kemaslahatan bersama. Dan status seorang pemimpin adalah penguasa atau orang yang memiliki wewenang dan legitimasi untuk membuat keputusan peraturan.
     Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU. Sedangkan pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa  Negara Indonesia adalah negara hukum  Artinya bahwa segala aspek kehidupan di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia harus di dasarkan pada hukum. Karena Indonesia merupakan negara yang majemuk yang kental akan perbedaan sehingga dalam penentuan kebijakan hukum para pemimpin mendapatkan tantangan. Memang idealnya bahwa hukum harus mengikut pada nilai-nilai yang di dalam masyarakat namun dalam perumusan kebijakan tidak sesederhana itu. Dimana terkadang nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat itu bertentangan dengan kemajuan bangsa mengingat pada abad 21 ini perkembangan peradaban meningkat secara signifikan. sehingga di perlukan pemimpin yang bijak dalam menyikapi kontradiksi tersebut.
        Indonesia menganut sistem demokrasi yang artinya setiap warga negara berhak menjadi seorang pemimpin termasuk minoritas. Kelirunya kita, ketika ada kaum minoritas yang memimpin maka kita beranggapan bahwa kelompok kita tidak mampu sehingga memerlukan kelompok orang lain yang notabenenya minoritas di wilayah kita sebagai pemimpin. Keangkuhan tersebutlah yang mencacatkan demokrasi. Sehingga ketika ada putra asli dari suatu wilayah yang mencalonkan diri dan melawan minoritas maka putra asli tersebut kemungkinan besarnya akan menang. Dengan demikian maka proses seleksi pemimpin yang demokratis tidaklah selektif sehingga memunculkan pemimpin yang alakadarnya yang bukan terpilih karena kapasitas dan kapabilitasnya melainkan hanya elektabilitas semata.
       Perbedaan antara mayoritas dan minoritas yang memimpin dapat kita analisa dalam sudut pandang sosiokultural. Ketika mayoritas menjadi seorang pemimpin atau penguasa maka ia telah menganggap dirinya berada di zona nyaman karena ia dikelilingi oleh bawahan-bawahannya yang sama latarbelakangnya dengan dia. sehingga pertimbangan-pertimbangan yang bijak dalam segala keputusan akan minim. paradigma seperi inilah yang saya pandang dari beberapa pemimpin kita saat ini. akan berbeda halnya apabila minoritas yang memimpin. Karena lingkungan yang tidak biasa ia lihat sejak kecil maka ia akan terdorong untuk terus belajar dan memperbaiki setiap kebijakannya. selain itu pemimpin minoritas akan cenderung lebih hati-hati karena posisinya sebagai minoritas itu sendiri sehingga kapan saja rakyat menginginkannya untuk mundur ia harus mundur dari kepemimpinannya. sebagai konsekuensi logisnya.
        Kita bisa melihat sejarah bagaimana kepemimpinan muhammad di Madinah al-munawarah. Dengan dijadikannya Muhammad sebagai pemimpin oleh kaum anshar yang notabenenya seorang minoritas dan pendatang di Madinah maka kehidupan yang ada di kota Madinah saat itu sangat harmonis dan beradab. Dimana tiga kepercayaan yang berbeda hidup rukun di bawah kepemimpinan Muhammad Saw. yang darinya dilahirkannya piagam madinah yang merupakan salah satu konstitusi tertua yang pernah ada di dunia. Keminoritasan Nabi Muhammad Saw. tidak dijadikan bangsa yastrib sebagai alasan untuk tidak menjadi pemimpin. Kita juga dapat belajar dari sejarah kekerabatan Muna dan Buton. Dimana Buton merupakan salah satu kerajaan yang berdaulat dan menjadi kerajaan nusantara yang tidak pernah di jajah oleh bangsa asing. Namun di balik kebesaran nama Buton itu salah satu rajanya yang paling terkenal adalah sultan Murhum yang merupakan turunan dari Muna. Sebagai Minoritas di Buton Sultan Murhum atau La Kilaponto (dalam bahasa Muna) membawa banyak perubahan di buton. Salah satunya yaitu mengubah istilah kerajan menjadi kesultanan. Dan dengan alasan ini pula salah satu ahli sejarah Drs. Ridwan Saidi mengatakan bangsa Indonesia perlu belajar di Buton terkait Demokrasi.

Tulisan ini masih jauh dari kata sempurna dan masih kurang dalam penguatan teori namun harapan saya bisa di jadikan pertimbangan dan pembelajaran dan semoga bisa mengedukasi teman-teman. Jika ada masukan dan kritikan bisa berkomentar sepuasnya. Dan jika ada yang ingin berdiskusi DM saja@Dafhydkapiko_04😄😄Dan jangan lupa follow😆

Komentar