SISTEM PERBUDAKAN MODERN
Perbudakan merupakan kata yang tidak asing lagi di pendengaran kita. Kata yang selalu tersematkan pada orang-orang rendahan pada zaman kerajaan-kerajaan lampau. Perbudakan selalu dikonotasikan dengan masyarakat bodoh dan lemah meski kata lemah tersebut perlu di jelaskan lebih rinci. Sejak di bangku sekolah dasar (SD) kita telah di perdengarkan apa itu "PERBUDAKAN" yang seolah-olah perbudakan adalah kejadian kelam masa lampau yang kita pelajari sekarang dan tidak akan mungkin terulang lagi karena dunia sudah mengatasinya dengan kompleks. Di mana dunia menjamin kebebasan dan kemerdekaan kita yang termuat dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Namun kita perlu bertanya dan merefleksi kembali apakah perbudakan benar-benar musnah (tidak usah terlalu luas berbicara skala dunia kita cukup mengambil sampel yang sederhana saja yang ada di sekitar kita) ?.
Setiap masa, setiap periode waktu, setiap peradaban, dan setiap zaman tidak pernah terlepas dari bayang-bayang perbudakan. Perbudakan menjadi tradisi turun temurun tiap generasi. Bahkan bagi sebagian orang di zamannya perbudakan menjadi hal lumrah karena sifat keangkkuhan pada diri manusia bahwa suatu kelompok lebih tinggi dari kelompok lain. anggapan tersebutlah yang menjadikan dasar adanya sistem perbudakan. Lalu sistem perbudakan di budidayakan oleh sistem sosial dan sistem ekonomi yang menjadikannya selalu eksis.
Homo hominilipus yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lain adalah suatu istilah yang di kemukakan oleh plautus dan di populerkan oleh thomas hobbes dalam karyanya yang berjudul Da Civa (1651) cukup relevan dengan teori-teori sosial postmodern. Dalam kaitannya dengan perbudakan, istilah homo hominilupus seolah menggambarkan betapa kejamnya sifat manusia terhadap manusia lain sehingga mengabaikan homo homini socius (manusia adalah sahabat bagi sesamanya). Padahal jika kita menganalisa istilah tersebut, nilai kemanusiaan dalam hal ini di pengaruhi oleh suatu sistem sosial politik. Tidak heran jika perbudakan tetap lestari dan eksis dari masa ke masa.
Menurut sejarah, perbudakan pertama kali ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Tepatnya di masa peradaban paling tua yaitu di Mesopotamia sekitar 3500 tahun sebelum masehi. Pada masa itu, para budak di jadikan sebagai peliharaan untuk bekerja pada golongan orang-orang yang memiliki uang. Mereka bekerja hanya untuk bisa makan dan hanya untuk melunasi hutang-hutang yang tidak kunjung lunas. sehingga mereka tidak memiliki hak apapun mereka hanya punya kewajiban yang selalu membelenggu dan menghantui mereka. Bahkan menikah pun diatur, dimana orang orang berbadan besar dan bertenaga kuat dinikahkan dengan orang pilihan majikannya sedangkan orang yang berbadan kurus dilarang menikah karena sifat genetik yang dibawanya. Seiring berjalannya waktu, perbudakan selalu menghantui orang orang lemah dan bodoh. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah perbudakan itu benar benar sudah hilang di tengah keeksisannya setiap zaman dan setiap peradaban?. Ataukah perbudakan itu hanya berubah bentuk dan wajah tanpa merubah eksistensi dan esensinya?.
Jika kita menganalisa bahwa sebenarnya inti dari perbudakan itu adalah controling. Ruh dari perbudakan adalah kontrol sosial. Dimana kendali individu itu diatur oleh individu lain. Sehingga kebebasan dan kemerdekaan yang melekat pada individu yang merupakan pemberian tuhan sang pencipta direnggut oleh individu lain yang mengetahui cara bagaimana mengendalikan orang. Maka dengan premis awal itu tanpa sadar banyak dari yang menjalankan sistem perbudakan entah menjadi budaknya atau menjadi majikan sang budak. Sebagai disklaimer bahwa perbudakan tidak hanya berupa penjualan orang atau eksploitasi anak dan bentuk-bentuk fisik lainnya.
Hak Asasi Manusia (HAM) telah mengharamkan segala bentuk perbudakan apapun alasannya. Namun seperti pernyataan sebelumnya bahwa tumbuh suburnya perbudakan di sebabkan oleh keangkuhan individu atau kelompok yang merasa dirinya lebih dari orang lain atau kelompok lain. maka orang-orang seperti ini tidak kehabisan akal untuk memperbudak orang-orang. Bentuk-bentuk perbudakan telah di improvisasi oleh kaum elit sedemikian rupa wajahnya. seluruh tatanan kehidupan di bentuk sedemikian sempurna sehingga mampu memayakan yang nyata dan menyatakan yang maya. Hal inilah yang sangat berbahaya karena kita sudah tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Para budak dulu menyadari bahwa mereka adalah budak ironisnya para budak sekarang tidak menyadari bahwa mereka adalah budak begitupun orang yang memperbudak. Para elit yang memperbudak selalu mengatasnamakan kemanusiaan padahal tanpa sadar sedang menjalankan sistem perbudakan yang mereka juga sebenarnya sedang di perbudak oleh orang yang hierarkinya lebih tinggi.
Perbudakan sekarang dapat kita temui dalam sektor apapun termasuk sektor pendidikan yang notabenenya sebagai suatu cara untuk melumpuhkan perbudakan. Di Indonesia APBN sebanyak 20% di anggarkan untuk pendidikan namun ironisnya Indonesia menempati peringkat 129 iq rata-rata-rata penduduknya. Hal tersebut di sebabkan sistem pendidikan di Indonesia sekelas sistem pemdidikan budak pada masa lalu. Sistem pendidikan Indonesia tidak mampu menjawab tantangan zaman sehingga dijadikan sebagai formalitas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa saja namun menjadi boneka negara-negara adidaya. Amat banyak kritikan yang tertuju pada sistem pendidikan Indonesia, saking banyaknya hampir tiap tahun revisi kurikulum, penyebabnya ya tentu karna banyak kritikan.
Sistem perbudakan di Indonesia sudah mendarah daging entah karna suka di perbudak atau karena apa penulis juga bingung. Tapi tentu semua itu berakar dari suatu sistem tatanan masyarakat dan lebih khusus lagi sistem sosial politik. Sistem politik mempengaruhi segala elemen masyarakat sehingga jika sistem politiknya buruk maka seluruh kehidupan sosial dalam masyarakat ikut buruk pula. Namun yang menjadi paradoksnya adalah sistem politik juga merupakan produk sosial sehingga sistem politik juga bergantung dari sifat asli dan karakter masyarakatnya. Inilah yang membuat sulit kita untuk keluar dari lingkaran sistem kotor ini sehingga kita terjebak dalam keterpaksaan. Untuk lebih jelasnya mari kita ulas satu persatu.
Kenapa kita tidak bisa keluar sistem perbudakan ?
1. Pendidikan bukan sebagai pembebas
Kunci dari segala pembebasan adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi dasar dari segala kemajuan peradaban serta pembebas dari belenggu perbudakan. praktek perbudakan hanya akan berlangsung pada tempat dimana orang-orang di wilayah tersebut memiliki pengetahuan yang sempit dan tertutup. Seperti zaman jahiliyah pada bangsa Arab, orang-orang pada masa itu menjalankan hukum rimba dimana orang kuatlah yang menjadi penguasa dan yang lemah di perbudak. Zaman tersebut di istilahkan dengan jahiliyah karena masyarakatnya di selimuti dengan kebodohan. Setelah datangnya seorang pembebas cerdas yang bernama Muhammad SAW yang memperkenalkan ilmu pengetahuan kepada bangsa Arab barulah kemudian arab menjadi bangsa yang besar dan peradaban yang maju serta perlahan-lahan mengurangi sistem perbudakan. Di eropa juga di kenal dengan masa kegelapan (Dark age) dimana dogma gereja telah membatasi kebebasan-kebebasan manusia yang di sebabkan kurangnya pengetahuan orang-orang pada masa kegelapan ini. Sebelum masa renaisance (kehidupan kembali atau awal kebangkitan bangsa eropa) di wilayah eropa perbudakan pada masa itu sangat masif dan di tandai dengan minimnya hak individu dalam kehidupan. Setelah muncul penemu-penemu dan para ilmuwan serta berkembangnya ilmu pengetahuanlah maka perlahan-lahan mengurangi sistem perbudakan. Kenapa penulis menggunakan kata mengurangi bukan mengilangkan perbudakan ? jawabannya adalah akan selalu ada orang-orang bodoh yang memperbudak atau yang di perbudak di tengah-tengah peradaban yang maju. Maka dari sinilah kunci perbudakan adalah pengetahuan yang minim.
Untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana jika kita melihat kondisi pengetahuan masyarakat Indonesia saat ini. Kalau menurut kacamata penulis, kondisi Indonesia saat ini "DIPAKSABODOHKAN" oleh suatu sistem yang di budidayakan oleh para elit yang selalu mengatakan "Sudahlah dinda jangan terlalu sok Idealis hidup butuh makan". Penyimpangan Idealislahlah yang membuat sistem tatanan masyarakat menjadi amburadul dan ironinya idealis selalu dinafikan dengan dalih realistis. Kita terlalu takut untuk tidak makan sehingga terkadang berbohong pada hati nurani. Para mentri yang ditugaskan untuk mengurusi pendidikan Indonesia yang menelan anggaran 20% APBN tetap saja tidak mampu mengatasi kegagalan pendidikan di Indonesia. Mengutip dari perkataan Paulo Freire "selama pendidikan belum memerdekakan, maka mimpi seorang tertindas adalah menjadi seorang penindas.
Dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas Paulo Freire mengemukakan gagasan bahwa pendidikan bisa menjadi alat untuk pembebasan atau penindasan, tergantung pada bagaimana pendidikan dirancang dan diterapkan. Freire mengkritik model pendidikan tradisional yang disebutnya sebagai "banking education" (pendidikan gaya bank), guru bertindak sebagai otoritas tunggal yang "mengisi" siswa dengan pengetahuan. Menurutnya, pendidikan harus melibatkan dialog aktif antara guru dan siswa, menciptakan hubungan setara dan membangun kesadaran kritis—kemampuan memahami realitas sosial dan menantang struktur kekuasaan yang menindas. Freire mengeksplorasi hubungan antara penindas dan tertindas, serta peran pendidikan dalam membantu kaum tertindas menyadari situasi kondisi dan menjadi agen perubahan. Ia juga menekankan pentingnya humanisasi, pendidikan yang membebaskan membantu siswa menjadi subjek dalam masyarakat, bukan objek pasif.
Beberapa lembaga pendidikan di Indonesia khususnya area Sulawesi Tenggara di setiap jenjang pendidikan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar juga memperlihatkan betapa tidak memahami pemikiran Freire ini. Dalam proses belajar mengajar beberapa tenaga pendidik hanya melaksanakan kewajiban mereka untuk mengajar bukan untuk membebaskan dari kebodohan. Tercermin dengan beberapa praktik dimana siswa di perintah untuk membuat tugas atas dasar sebagai pemenuhan nilai akademik. Dalam praktek ini kesalahan bukan serta merta dari tenaga pengajar namun seluruh orang yang bertanggung jawab untuk mengurus lembaga pendidikan. Karena tidak adanya pengawasan dan evaluasi tenaga pengajar serta penjaringan tenaga pengajar yang mungkin tidak melalui seleksi yang objektif. Permasalahan pendidikan di Indonesia sebenarnya sangat kopleks dan tidak sesederhana itu. terbukti dengan kurikulum yang hampir tiap tahun berganti.
2. Kesenjangan Ekonomi
Saya tidak ingin berbicara tentang data pada penulisan ini, dan saya akan berfokus pada paradigma proletariat. Tentu kita dapat melihat dengan mata kita sendiri bahwa di sekitaran kita masih banyak orang-orang di jalanan masih membutuhkan makanan di sisi yang berbeda terdapat satu rumah megah yang terparkir 4 mobil di dalamnya beserta taman-taman yang dihiasi bunga mahal. Dan hal ini sudah lumrah di hadapan kita yang semestinya ini tidak patut terjadi di dalam tatanan sosial. Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan simiskin dalam sistem ekonomi liberal membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Orang kaya akan memiliki previlage untuk membuat dirinya tetap dalam kondisi kaya bahkan lebih kaya. Sedangkan kaum menengah kebawah akan kesusahan untuk membuat posisinya menjadi orang kaya, bukan karena ia tidak mampu bekerja keras tetapi praktik ordal (KKN) sangat kental dikehidupan kita. Yang dibutuhkan oleh para elit bukanlah yang pintar atau yang bekerja keras tetapi hubungan simbiosis mutualisme yang menguntungkan antara elit satu dengan yang lainnya sehingga disinilah tercipta anggapan antara budak dan pemilik kuasa terhadap budak-budak itu.
BELUM SELESAI GES PANTAU TRUS BLOGKU👈
#PERBUDAKAN PENDIDIKAN
#PERBUDAKAN EKONOMI
#PERBUDAKAN SISTEM SOSIAL
#PERBUDAKAN AKTIVIS
#PERBUDAKAN PEMERINTAHAN
#PERBUDAKAN KESENJANGAN


Komentar
Posting Komentar